Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan dan para aktivis pembela hak-hak buruh migran menyambut laporan terbaru lembaga pemantau hak asasi manusia yang berpusat di New York, Amerika Serikat, Human Rights Watch atau HRW, mengenai pelanggaran serius hak asasi manusia terhadap pekerja rumah tangga di Arab Saudi.
Pelanggaran itu bermuara pada tiga hal, yakni Hukum Perburuhan, keimigrasian, dan sistem hukum pidana di Arab Saudi yang tidak memberikan jaminan perlindungan pada korban, ujar HRW Ken Roth di Jakarta, saat peluncuran laporan 155 halaman yang berjudul Seolah Saya Bukan Manusia: Kesewenang-wenangan terhadap Pekerja Rumah Tangga di Arab Saudi. Nisha Varia, peneliti senior dari Divisi Hak Perempuan HRW, yang didampingi Sri Wiyanti Eddyono dari Komnas Perempuan, menambahkan, penelitian atas undangan resmi dari Pemerintah Arab Saudi itu antara lain menemukan, beban kerja berlebih dengan gaji tidak dibayar dalam rentang waktu beberapa bulan sampai 10 tahun adalah jenis pengaduan yang paling umum.
Hukum Perburuhan Saudi yang diamandemen dengan Dekrit Kerajaan, menyangkali jaminan hak bagi pekerja rumah tangga (PRT) yang kini berjumlah sekitar 1,5 juta, terutama berasal dari Indonesia, Sri Lanka, Filipina, dan Nepal. Banyak pekerja rumah tangga harus bekerja 18 jam sehari, tujuh hari seminggu. Ken Roth dan Nisha mengatakan, sistem kafala atau sponsor yang ketat di Arab Saudi, yang menggantungkan visa kerja pekerja migran pada majikannya, menjadi pemicu eksploitasi dan penganiayaan.
Sistem itu memberi kekuasaan yang luar biasa pada majikan. HRW mencatat sejumlah kasus di mana pekerja tidak dapat melepaskan diri dari kondisi yang meningkatkan risiko menjadi korban tindak kekerasan psikologis, fisik, dan seksual. Bahkan, tidak dapat pulang setelah kontrak kerja berakhir karena majikan menolak memberi izin. Setelah mewawancarai 86 pekerja rumah tangga, HRW menemukan 36 pekerja yang mengalami tindak kesewenang-wenangan yang berakibat pada terjadinya kerja paksa, trafficking, dan kondisi seperti perbudakan.
Tak mengejutkan
Sebagian temuan pelanggaran HRW itu sebenarnya tidak terlalu mengejutkan bagi para aktivis di Indonesia. Menurut catatan aktivis pembela hak buruh migran, Wahyu Susilo, sekitar 40 persen dari jumlah total penyiksaan dan kematian buruh migran asal Indonesia, terjadi di Arab Saudi. Setidaknya laporan ini akan menjadi peringatan bagi Pemerintah RI agar segera membuat perjanjian bilateral dengan pemerintah negara-negara penerima, termasuk Pemerintah Arab Saudi, untuk memastikan perlindungan pekerja migran berbasis HAM (hak asasi manusia), ujar Anis Hidayah dari Migrant Care. Ken Roth juga mengakui, berita tentang pelanggaran hak-hak buruh migran PRT di Arab Saudi telah lama diketahui. Dengan keluarnya laporan ini, menjadi momentum yang tepat untuk mencari pemecahan masalah buruh migran pekerja rumah tangga tersebut, ujarnya.
Ia mengusulkan agar negara- negara pengirim bersatu untuk melakukan perundingan dengan negara penerima agar posisi tawarnya seimbang. Laporan itu menyebutkan, terdapat lebih dari delapan juta buruh migran di Arab Saudi atau sepertiga jumlah penduduk negara itu. Mereka mengisi kekosongan di bidang kesehatan, konstruksi, dan pekerjaan domestik, yang mendukung ekonomi di negara asal, dengan mengirim sekitar 15,6 miliar dollar AS pada tahun 2006 atau hampir lima persen pendapatan kotor (GDP) Arab Saudi.
http://www.menegpp.go.id/en/index.php?option=com_content&view=article&id=89%3Alaporan-hrw-hak-hak-prt-disangkali-di-arab-saudi-&Itemid=1